Pendidikan di Indonesia kini semakin terlihat sebagai komoditas, bukan hak dasar warga negara. Sekolah, terutama swasta, menjelma fastcoursesonline.com menjadi ladang bisnis yang mengejar keuntungan. Biaya masuk fantastis, iuran bulanan tinggi, dan segudang pungutan lain membuat pendidikan terasa eksklusif—hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
Di kota-kota besar, sekolah-sekolah elite mematok biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah. Mereka menawarkan fasilitas mewah, kurikulum internasional, dan status sosial yang prestisius. Sayangnya, hal ini menciptakan kesenjangan pendidikan yang makin lebar. Anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan sekolah seadanya, yang kadang tak memiliki laboratorium, perpustakaan, atau bahkan guru tetap.
Fenomena ini semakin memperjelas bahwa akses pendidikan berkualitas hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu. Padahal, konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun dalam praktiknya, uang menjadi penentu utama.
Tak hanya sekolah, bimbingan belajar pun tumbuh subur sebagai industri. Siswa yang ingin lolos ujian atau masuk perguruan tinggi “wajib” mengikuti kursus tambahan. Ini menunjukkan lemahnya sistem pendidikan formal yang seharusnya cukup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian. Ketergantungan pada les privat membuktikan bahwa ada yang salah dalam metode belajar di sekolah.
Parahnya, beberapa sekolah negeri pun mulai terjebak dalam logika komersial. Ada pungutan-pungutan tidak resmi, “sumbangan sukarela” yang sifatnya memaksa, hingga praktik jual beli seragam dan buku dengan harga di atas pasaran. Ini membebani orang tua murid yang sudah berjuang keras demi menyekolahkan anaknya.
Komersialisasi pendidikan telah mencederai semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebas, bukan sumber ketimpangan baru. Pemerintah harus tegas menindak praktik komersial yang menyimpang dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak, bukan barang dagangan. Jika tidak, kita hanya akan mencetak generasi yang pintar di atas kertas, tapi tidak merasakan keadilan yang seharusnya diajarkan sejak di bangku sekolah.